Setelah Jakarta, Garut adalah kota yang istimewa bagiku. Sebab,
disitulah kutemukan jodohku. Namanya juga jodoh. Gak bisa diprediksi di tempat
seperti apa jodohku terungkap.
Saat menikah dulu. Musim hujan masih berlangsung. Garut terkenal
dinginnya (kalau malam). Ditambah hujannya yang lumayan awet. Ah sudahlah.. gak
kebayangkan “penganten baru” yang terjebak dalam situasi seperti itu.
Kalau saya nikah di Jakarta, saat musim hujan, tentu
khawatir akan banjir. Kalau di Garut, banjir hampir mustahil. Ya, daerah
dataran tinggi yang sejuk, dimana air cuma numpang lewat di kota itu. Jadi, gak
ada pikiran bakal kena banjir, meski hujan terus-terusan turun selama masa “hani-mun”
kami.
Ada yang bilang, “Garut gak sedingin dulu.” Malah ada yang
bilang, “Garut gak sesejuk dulu.” Kenyataannya memang demikian. Siang hari di
kota Garut gak jauh beda lah dengan di Jakarta. Meski kadar ke-hot-an Jakarta jauh
lebih tinggi. Wong Jakarta daerah pesisir.
Itu menandakan, ada yang tidak beres dengan kota Garut. Gak cuma
Garut sih. Bandung yang “dulunya” dingin/sejuk, sekarang mah apa atuh.. Tapi
setidaknya, Kang Emil rajin bikin penghijauan di Bandung. Kalau di Garut?
Rumah istriku berada di dekat Kali Cimanuk. Tepatnya berada
di daerah Sanding. Sebuah komplek padat penduduk, dengan hak untuk berjalan
kaki cuma semeteran. Kecuali Gang Ahmad Jayadi. Itu agak lebar.
Mendengar berita kemarin. Kali Cimanuk ngamuk (kirain cuma
Ahok aja yang bisa ngamuk) menyebabkan banyak korban jiwa, harta dan lain
sebagainya. Gambar yang beredar di media-online sangat mengerikan. Rumah-rumah
beserta isinya tersapu. Sawah-sawah tergelam. Hewan ternah terseret arus. Tentu,
yang pertama harus diselamatkan adalah nyawa.
Hestek #pray4Garut bertebaran dimana-mana. Kontak-kontak BBM
istriku, yang mayoritasnya masyarakat Garut, buat status-status mengharukan
tentang kota kelahirannya. Istriku pun sontak menelpon ibunya.
Meski kami tahu bahwa untuk sampai di perkampungan Gang
Ahmad Jayadi, air harus memiliki ketinggian 3 meter. Tapi, kekhawatiran itu
terlanjur mengjangkit. Soc-med lagi-lagi mampu berbagi kekhawatiran. Apalagi,
dua kali kami menelpon gak diangkat-angkat.
Kemustahilan banjir di Garut, kini terjadi. Tentu ini perlu
penjelasan yang sangat rumit ketimbang banjir di Ibukota, yang memang potensi
banjirnya tinggi. Ini Garut kok bisa banjir?
Dan saat pak Gubernur Aher meninjau lokasi banjir, beliau
hanya bilang, “Ini musibah, jadi sabar dan maklumi.” Yah, ini musibah. Tentu bukan
Tuhan yang kasih. Kejam sekali Tuhan kalau suka kasih musibah.
Ini musibah yang telah dibuat oleh manusia sendiri. Butuh waktu
lama untuk membuat Garut banjir.
Pengrusakan yang dilakukan manusia benar-benar
masif dan tentunya dapat restu dari pihak-pihak yang mencari keuntungan disitu.
Gimana gak masif, daerah yang tak berpotensi banjir, kok bisa banjir? Ada yang
bersuara lantang untuk ini? Seperti halnya aktivis-aktivis kemanusia yang
selalu lantang ngurusin banjir di Ibukota.
Banjir bandang ini satu peringatan. Pesannya, “Ada yang
tidak beres dengan kabupaten Garut.” Apa yang tidak beres itu?
Menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) Jabar,
bencana ini sebagai buntut dari aktivitas pembangungan yang melanggar ketentuan
rencana detail tata ruang (RDTR). Sejumlah kawasan lindung di Garut ternyata
sudah berubah peruntukan.
“Di kawasan tertentu di Garut itu misalnya di Cipanas, ada
Gunung Guntur, sekarang beberapa pengusaha diekploitasi pasirnya. Kita sudah
setop tapi masih keukeuh,” kata Kepala BPLHD Jabar, Anang Sudarna.
Eksploitasi lingkungan juga terjadi di Darajat. Lokasi hutan
lindung itu kini menjadi lokasi pariwisata, pembangunan penginapan, restoran
hingga pemandian air panas begitu marak. Padahal, tentu, daerah konservasi alam
seperti itu harus dijaga dari aktivitas pembangunan.
Semua ini sudah menyalahi izin peruntukan. Pertanyaannya,
siapa yang kasih pengusaha-pengusaha itu izin? Gak mungkin kan mereka bangun
tanpa izin. Kalau sudah kantongi izin, mau dibongkar gimana? Mau perang di
pengadilan?
Istriku menceritakan. Semasa kecil ia selalu bermain di Kali
Cimanuk. Airnya bersih dan dangkal. Sebab sungainya masih lebar dulu.
Saat kepadatan penduduk meningkat, daerah pinggilan Kali
Cimanuk disulap menjadi sawah dan perumahan. Kali menjadi sempit. Tapi,
pemikiran “mustahil Garut banjir” ini yang membuat masyarakat serta pemerintah
gak sadar bahwa “bom waktu” tersebut
terus berjalan.
Kami sangat berduka dengan peristiwa ini. Semoga para
korban, baik kehilangan keluarga maupun harta benda, Allah senantiasa beri
kesabaran dan ketabahan. Memang ini musibah, yang saya sedari kecil sudah bosan
dengannya.
Kita adalah satu negeri, satu tubuh. Sakit di suatu tempat
di tubuh ini, akan dirasakan ditempat lain. Pasti banyak anak negeri di tempat
lain yang berduka, yang ingin mengulurkan bantuan kepada masyarakat Garut yang
tertimpa musibah.
Yang terpenting dari semuanya. Semoga kita bisa belajar dari
peristiwa ini. Belajar untu memperbaikinya, bukan untuk menambahnya makin
rusak. Semoga~
No comments:
Post a Comment