Wednesday, September 21, 2016

Garut Berduka




Setelah Jakarta, Garut adalah kota yang istimewa bagiku. Sebab, disitulah kutemukan jodohku. Namanya juga jodoh. Gak bisa diprediksi di tempat seperti apa jodohku terungkap.

Saat menikah dulu. Musim hujan masih berlangsung. Garut terkenal dinginnya (kalau malam). Ditambah hujannya yang lumayan awet. Ah sudahlah.. gak kebayangkan “penganten baru” yang terjebak dalam situasi seperti itu.

Kalau saya nikah di Jakarta, saat musim hujan, tentu khawatir akan banjir. Kalau di Garut, banjir hampir mustahil. Ya, daerah dataran tinggi yang sejuk, dimana air cuma numpang lewat di kota itu. Jadi, gak ada pikiran bakal kena banjir, meski hujan terus-terusan turun selama masa “hani-mun” kami.

Ada yang bilang, “Garut gak sedingin dulu.” Malah ada yang bilang, “Garut gak sesejuk dulu.” Kenyataannya memang demikian. Siang hari di kota Garut gak jauh beda lah dengan di Jakarta. Meski kadar ke-hot-an Jakarta jauh lebih tinggi. Wong Jakarta daerah pesisir.

Itu menandakan, ada yang tidak beres dengan kota Garut. Gak cuma Garut sih. Bandung yang “dulunya” dingin/sejuk, sekarang mah apa atuh.. Tapi setidaknya, Kang Emil rajin bikin penghijauan di Bandung. Kalau di Garut?

Rumah istriku berada di dekat Kali Cimanuk. Tepatnya berada di daerah Sanding. Sebuah komplek padat penduduk, dengan hak untuk berjalan kaki cuma semeteran. Kecuali Gang Ahmad Jayadi. Itu agak lebar.

Mendengar berita kemarin. Kali Cimanuk ngamuk (kirain cuma Ahok aja yang bisa ngamuk) menyebabkan banyak korban jiwa, harta dan lain sebagainya. Gambar yang beredar di media-online sangat mengerikan. Rumah-rumah beserta isinya tersapu. Sawah-sawah tergelam. Hewan ternah terseret arus. Tentu, yang pertama harus diselamatkan adalah nyawa.

Hestek #pray4Garut bertebaran dimana-mana. Kontak-kontak BBM istriku, yang mayoritasnya masyarakat Garut, buat status-status mengharukan tentang kota kelahirannya. Istriku pun sontak menelpon ibunya. 

Meski kami tahu bahwa untuk sampai di perkampungan Gang Ahmad Jayadi, air harus memiliki ketinggian 3 meter. Tapi, kekhawatiran itu terlanjur mengjangkit. Soc-med lagi-lagi mampu berbagi kekhawatiran. Apalagi, dua kali kami menelpon gak diangkat-angkat.

Kemustahilan banjir di Garut, kini terjadi. Tentu ini perlu penjelasan yang sangat rumit ketimbang banjir di Ibukota, yang memang potensi banjirnya tinggi. Ini Garut kok bisa banjir?

Dan saat pak Gubernur Aher meninjau lokasi banjir, beliau hanya bilang, “Ini musibah, jadi sabar dan maklumi.” Yah, ini musibah. Tentu bukan Tuhan yang kasih. Kejam sekali Tuhan kalau suka kasih musibah.
Ini musibah yang telah dibuat oleh manusia sendiri. Butuh waktu lama untuk membuat Garut banjir. 

Pengrusakan yang dilakukan manusia benar-benar masif dan tentunya dapat restu dari pihak-pihak yang mencari keuntungan disitu. Gimana gak masif, daerah yang tak berpotensi banjir, kok bisa banjir? Ada yang bersuara lantang untuk ini? Seperti halnya aktivis-aktivis kemanusia yang selalu lantang ngurusin banjir di Ibukota.

Banjir bandang ini satu peringatan. Pesannya, “Ada yang tidak beres dengan kabupaten Garut.” Apa yang tidak beres itu?

Menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) Jabar, bencana ini sebagai buntut dari aktivitas pembangungan yang melanggar ketentuan rencana detail tata ruang (RDTR). Sejumlah kawasan lindung di Garut ternyata sudah berubah peruntukan.

“Di kawasan tertentu di Garut itu misalnya di Cipanas, ada Gunung Guntur, sekarang beberapa pengusaha diekploitasi pasirnya. Kita sudah setop tapi masih keukeuh,” kata Kepala BPLHD Jabar, Anang Sudarna.

Eksploitasi lingkungan juga terjadi di Darajat. Lokasi hutan lindung itu kini menjadi lokasi pariwisata, pembangunan penginapan, restoran hingga pemandian air panas begitu marak. Padahal, tentu, daerah konservasi alam seperti itu harus dijaga dari aktivitas pembangunan.

Semua ini sudah menyalahi izin peruntukan. Pertanyaannya, siapa yang kasih pengusaha-pengusaha itu izin? Gak mungkin kan mereka bangun tanpa izin. Kalau sudah kantongi izin, mau dibongkar gimana? Mau perang di pengadilan? 

Istriku menceritakan. Semasa kecil ia selalu bermain di Kali Cimanuk. Airnya bersih dan dangkal. Sebab sungainya masih lebar dulu.

Saat kepadatan penduduk meningkat, daerah pinggilan Kali Cimanuk disulap menjadi sawah dan perumahan. Kali menjadi sempit. Tapi, pemikiran “mustahil Garut banjir” ini yang membuat masyarakat serta pemerintah gak sadar bahwa “bom waktu”  tersebut terus berjalan.

Kami sangat berduka dengan peristiwa ini. Semoga para korban, baik kehilangan keluarga maupun harta benda, Allah senantiasa beri kesabaran dan ketabahan. Memang ini musibah, yang saya sedari kecil sudah bosan dengannya. 

Kita adalah satu negeri, satu tubuh. Sakit di suatu tempat di tubuh ini, akan dirasakan ditempat lain. Pasti banyak anak negeri di tempat lain yang berduka, yang ingin mengulurkan bantuan kepada masyarakat Garut yang tertimpa musibah.

Yang terpenting dari semuanya. Semoga kita bisa belajar dari peristiwa ini. Belajar untu memperbaikinya, bukan untuk menambahnya makin rusak. Semoga~

No comments:

Post a Comment