Hari minggu lalu, sejumlah ulama, tokoh politik nasional dan
pimpinan ormas menggelar sebuah acara bernama “Risalah Istiqlal” di Masjid
Istiqlal, Jakarta. Padahal, telah diumumkan pembatalan acara tersebut
disebabkan acara tidak sesuai dengan izin yang diminta.
Meski dibatalkan. Sepertinya, mereka tetap “istiqamah”.
Itulah sebabnya, Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, tidak hadir dalam acara
tersebut. Beliau berkata, “Saya minta kegiatan politik praktis di Masjid
Istiqlal jangan dilakukan, makanya saya tidak datang. Saya sudah sampaikan
nggak boleh Istiqlal dipakai untuk acara itu.”
Pertanyaannya, siapa sih yang bisa menghentikan Habib Rizieq
Shihab? Kalaupun sedang terserang asam urat, beliau akan tetap hadir. Ini demi
kepentingan umat. Iya.. umat FPI.. hihi..
Gak cuma sekarang-sekarang aja gencar kegiatan politik di
atas mimbar. Dulu, 2012, saat Jokowi-Ahok mencalon jadi cagub-cawagub DKI,
masjid-masjid dijadikan tempat yang paling cocok menjatuhkan “elektabilitas”
Jokowi-Ahok lewat isu SARA.
Hasilnya? Jokowi-Ahok menang. Mimbar pun tak mampu
menggagalkan “takdir Tuhan” yang mengatakan, “SARA gak laku di Jakarta”.
Masyarakat Jakarta sangat kritis dan maju. Mereka lebih
menilai pemimpin dari kinerja bukan agama. Makanya, partisipasi masyarakat
untuk politik yang sarat SARA sangat amat kecil. Itupun kalau ada disediakan
nasi bungkus. #ehh
Kita lihat. Satu juta KTP buat Ahok yang non-muslim berhasil
dikumpulkan. Partisipasi masyarakat DKI yang tanpa nasi bungkus, dapat kita
lihat begitu antusias. Apakah masyarakat Jakarta telah menjadi Kafir? Itu
gerutu para “aktivis mimbar politik”.
Hasil dari “Risalah Istiqlal” melahirkan 9 butir seruan
kepada umat. Yang intinya, “Jangan pilih pemimpin non-Muslim di Pilkada DKI
nanti.”
Malah, di butir terakhir dari risalah ini dikatakan,
“Mengimbau kepada partai yang mendukung calon non-muslim untuk mencabut
dukungannya. Apabila tidak mengindahkan imbauan ini, maka diserukan kepad umat
untuk tidak memilih partai tersebut.”
Kok maksa-maksa sih? Jualan kok maksa, siapa yang mau beli?
Kalau strategi politik lawan Ahok masih berkisar pada isu
SARA, saya sarankan agar menghentikannya sebelum terlambat. Bukan menurunkan
elektabilas Ahok tapi malah meninggikannya. Isu SARA dirasa sebagai dagelan
politik yang enaknya diketawain rame-rame. Hahah..
Coba dong lawan-lawan politik Ahok tawarkan program-program
seksi terkait kesejahteraan warga. Atau juga, terkait lingkungan yang lebih bersih,
nyaman dan teratur. Jangan terus berlindung di balik SARA, yang gak akan
ngeyangin rakyat. Rakyat akan terus hidup dalam kekumuhan jika tujuan melawan
Ahok cuma mentok di “Pokoknya Ahok gak jadi gubernur”.
Warga Jakarta sepertinya gak terlalu peduli sama urusan
surga-neraka di akhirat sana. Gak usah jauh-jauh sampai ke akhirat. Kalau
surga-neraka bisa dilihat dari Jakarta, kita urus dulu disini. Neraka-neraka
seperti daerah kumuh di bantaran kali, sampah-sampah di kali-kali, PKL di
trotoar, birokrasi yang berbelit-belit, semua itu neraka yang paling nyata.
Masa dihadapi dengan senyum dan salam? Bu Risma aja ngamuk
sambil bilang, “Gob*ok” karena melihat neraka di wilayahnya. Untung Bu Risma
muslim, gak akan dibilang “gak santun”.
Selama surga bisa diciptakan di Jakarta, gak perlu ngomongin
surga yang di akhirat. Ente yakin masuk surga? Karena ente berjenggot, santun,
dan beristri banyak? #ehh..
Mana program-program-mu untuk Jakarta yang lebih baik lagi?
No comments:
Post a Comment