Ini merupakan kabar gembira. Baik itu bagi pendukung setia
Ahok maupun pihak yang kontra bahkan anti Ahok. Kabar ini terasa lebih segar
dan menyejukkan, tentunya, di mata para kontra Ahok. Sebab. Program utama
mereka untuk Jakarta adalah “Kalahkan Ahok!”
Kok, pendukung setia lagi fanatiknya pun ikut gembira? Yah
tentu gembira. Sebab. Pilkada DKI akan terasa lebih menarik dengan adanya
dugaan-dugaan “potensi kalah” Sang Petahana yang tergambar oleh angka-angka.
Survei itu penting loh. Sebab, katanya, pilkada itu bukanlah
perang program. Tapi perang elektabilitas. Dan, lembaga-lembaga survei adalah
pengukur elektabilitas para kandidat. Mulai dari yang abal-abal hingga yang
kredibel.
Bagi saya, seorang muslim yang konservatif, survei adalah
upaya mendahului kehendak Allah. Siapa yang akan memimpin Jakarta nanti itu
masih ghaib. Bahkan, Aa Gatot pun gak
akan bisa menerawang. Apalagi menyimpulkan.
Saya khawatir. Survei seperti ini mengulang kejadian saat
Pilpres lalu. Survei anu mengatakan bahwa yang menang adalah kubu, sebut saja
PH. Faktanya, kubu PH malah kalah. Dan dendam dari para pendukungnya belum pupus
hingga kini. Kata anak gahool mah
“gagal move on”.
Itulah kekhawatiran saya, sebagai muslim yang konservatif.
Mendahului kehendak Allah membuat manusia cenderung sulit menerima takdir-Nya.
Ia tidak siap menerima, sekiranya apa yang menjadi ekspektasinya tidak
kesampaian.
Tapi. Tidak apa-apa. Sebagai muslim yang moderat juga, #lah,
saya bersyukur dengan adanya survei ini. Ini menandakan bahwa corak demokrasi
di negeri ini makin kemilau. Meski, tetangga sebelah mau ganti pakai khilafat
yang hingga kini masih wacana.
Sebagai muslim yang moderat saya hargai segala upaya mereka
yang kontra Ahok. Saya hargai kemunculan “risalah istiqlal” untuk membangkitkan
semangat keislaman dalam demokrasi negeri ini. Meskipun, kita tahu bersama,
sentimen “menolak Ahok sebab kafir” sangatlah tidak didukung oleh para mufassir
klasik, semisal Ibnu Katsir, Tabari maupun Qurtubi.
Dan. Saya juga hargai, segala bentuk survei yang dibuat oleh
lembaga-lembaga survei, yang ternama ataupun yang tidak. Ya, yang ternama
keabal-abalannya, atau yang ternama kekredibelannya.
Dalam dunia politik. Apapun cara yang ditempuh sah-sah saja.
Gak ada batasan moral. Gak ada kata munafik. Sekarang teman, besok musuh, itu
lumrah dalam politik. Kemarin hari memaki lawan politiknya, sekarang menjadi
mitra lawan politiknya, itu sudah biasa. Kemarin hari dicap aneh-aneh oleh
lawan politiknya, sekarang dipuja habis lawan politiknya, ritme politik memang
begitu.
Lalu, bagaimana dengan survei yang mengimpulkan “Ahok
potensial kalah”?
Itu benar. Saya setuju dengan kesimpulan “Ahok potensial
kalah”. Sebab, Ahok mah apa. Cuma manusia biasa. Setiap manusia berpotensi
kalah dalam suatu kompetisi. Tak terkecuali Ahok-Djarot.
Anies juga berpotensi kalah. Agus pun tak terkecuali. Setiap
kita berpotensi kalah. Sebab kalah adalah hal yang pasti. Tidak perlu
diupayakan, kalah akan datang kapanpun.
Justru. Yang heboh, kalau survei itu menyimpulkan “Ahok
potensial menang”. Sebab, kemenangan adalah kalkulasi setiap upaya yang
dikeluarkan. Upaya-upaya itu dilakukan dengan menimbang setiap kebutuhan
lapangan. Hasilnya, masyarakat senang dengan kinerja dari Sang Eksekutor.
Itu jika kita berbica inkumben. Sebab, inkumben telah
mempunyai kinerja yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Bukan
janji-janji yang terlalu abstrak untuk dipahami. Meskipun, janji-janji itu
terlihat “wow” dan “wah”.
Ingat yah sekali lagi. Faktanya, Ahok berpotensi untuk
kalah. Sebab, kalau Ahok tidak punya potensi kalah, Ahok bukan lagi manusia.
Aa Gatot dan Kanjeng Dimas yang katanya sakti mandraguna pun
harus merasakan apa itu kalah. Apalagi Ahok yang cuma butiran debu.
No comments:
Post a Comment