Mertua (kiri) dan Ayahku (kanan) |
Jumat pagi beberapa hari yang lalu, ayahku menelpon. Istriku
yang mengangkat, sementara aku masih sibuk menyiapkan sarapan. Maklum, suami
siaga menjelang kelahiran anak pertama kami.
Memang. Ayah biasa menelpon kami. Sehari minimal sekali. Bisa
pagi, siang, atau sore. Ia ingin sekali tahu perkembangan cucunya ini. Orang sepuh
kayak ayah, tak ada lagi yang benar-benar ia kejar. Kecuali, kabar tentang
anak-anak dan cucu-cucunya.
Malahan. Aku adalah anak yang belum menghasilkan cucu
baginya. Itu sangat ditunggu-tunggunya. Itu seperti menunggu kedatangan
Al-Masih yang kedua. Cemas dan penuh harap. Tapi itulah satu-satunya cara
bertahan dari serangan “dajjal”.
Aku yang sedang masak tak tahu apa yang sedang dibicarakan. Palingan.
Hanya bertanya, gimana kabarnya? Gimana kabar cucunya? Biasanya seperti itu.
Tapi. Kulihat istriku serius sekali menanggapi. Diliputi perasaan
kaget dan heran, aku mulai menerka-nerka apa yang sedang mereka bicarakan.
Selesai telponan dengan ayah, istriku tanpa ditanya,
langsung membeberkan semua percakapannya dengan ayah. Perasaan kaget yang masih
berceceran, ia bercerita bak mendapatkan kabar, “Selamat, anda mendapat voucher belanja di HERO sepuasnya.”
Begitulah kira-kira.
Ia menjelaskan bahwa ayah ingin menengok kami. Hah? Konsentrasiku
tiba-tiba goyah mendengar semua itu. Tiba-tiba, aku lupa, tadi sudah masukkan
garam atau belum yah?
Kebetulan, ibunya istri sudah berada di Surabaya kemarin
malam. Jadi, istriku sampaikan ke ayah, supaya pergi bareng mamanya. Naik kapal
dari Surabaya. Sekalian bareng. Soalnya, mamanya istri bawa banyak titipan
untuk kami.
Sebelum menutup telpon, ayah bilang mau pergi ke Stasiun
Senen untuk langsung beli tiket kereta ke Surabaya. Tanpa banyak tanya, nanti
tentang perjalanan dengan kapalnya gimana, ayah langsung menutup telponnya.
Duhhh… Cinta seorang kakek sama cucunya, gak perlu banyak
pertanyaan tentang resiko yang akan dihadapinya. Banyak bertanya adalah
keraguan yang nyata dalam mencinta. Dan Sang Kakek, tengah memperlihatkan
cintanya yang tulus, yang tak banyak tanya.
Sekitar pukul dua siang. Aku dan istri mau menelpon ayah. Bagaimana
kabar tentang perjalanannya ke Surabaya. Aku mengira ia akan berangkat besok. Soalnya,
berangkat sabtu pun masih terkejar untuk naik kapal.
Sekali ditelpon, tidak diangkat. Dua kali. Tiga kali. Tidak juga
diangkat. Kami pun mulai khawatir. Apa mungkin ayah sedang mencari tiket di
Senen.
Setelah beberapa kali ditelpon. Akhirnya diangkat juga. Terdengar
suara keramaian. Ah.. pasti sedang antri beli tiket.
Suara ayah nyaris tenggelam dalam pusaran hiruk-pikuk
keramaian. “Haloo…” sepotong sapaan berhasil kudengar. “Yah.. halooo..” aku
mencoba membalasnya.
Aku terus bertanya, “Ayah lagi dimana?” Sayangnya, ia tak
bisa mendengar. Merespon seadanya. Sambil mengatakan, “Disini berisik, ayah gak
bisa dengar.”
Sebelum menutup telponnya. Ayah mengatakan sebuah kalimat
yang membuat kami semua kaget. “Ayah udah di kereta nih. Telponnya nanti aja.”
“Hah…???” Segitu cepatnya kah? Padahal ayah bukan orang
sibuk. Ia selalu punya waktu untuk apapun. Tapi, untuk cucunya, ia selalu gak
punya waktu. Dengan polosnya, ia melewati semuanya tanpa peduli bahwa “perjalanan
adalah bagian dari bencana”.
Sabtu pagi. Yang menjelang sing. Kami menelpon kembali ayah.
Tanpa banyak istirahat, ia ternyata sudah membeli tiket kapal. Seperti tak
merasakan apa-apa untuk sebuah perjalanan yang memakan waktu setengah hari itu.
Akhirnya, ayahpun mengungkap kisah perjalanannya ke Surabaya
yang membuat kami semua tercengang.
Setelah menelpon. Ayah langsung pergi ke Stasiun Senen untuk
cari tiket. Ia bertanya ke bagian informasi. Diantarlah ayah sampai ke loket.
Ayah langsung bertanya ke penjaga loket. Apakah ada tiket ke
Surabaya? Si petugas bertanya balik. Hari ini atau besok pak? Ayahku menjawab. Kalau
bisa hari ini.
Diketik-ketiklah papan keyboard di depannya. Hasilnya. Ternyata
untuk hari ini, kereta menuju Surabaya sudah habis.
Ayah pun terdiam sejenak. Berpikir untuk mencari alternatif
lain yang “pokoknya” bukan besok. Ada yang ke Semarang gak? Ayahku meminta si
petugas untuk mencari. Pikirnya, setelah dari semarang ia bisa naik bus ke
Surabaya.
Diketik-ketik lagi. Dan hasilnya sama. Tidak ada juga yang
ke Semarang hari ini. Ayahku mulai bingung. Bertanya-tanya, apakah harus besok.
Tiba-tiba. Ada kejadian aneh bin luar biasa. Aku tidak tahu,
apakah itu sebuah mukjizat. Atau hanya keberuntungan belaka.
Si petugas loket mengetik-ngetik lagi. Tiba-tiba, satu kursi
membatalkan perjalanan. Sambil terkaget-kaget si petugas berkata, “Pak. Ini ada
satu yang batal.” Ayahku mantap merespon. Yah, biar saya ambil.
Ayah memaknainya sebagai cara Tuhan menolong hamba-Nya yang
tengah berikhtiar. Niat baik ayah adalah cara untuk mengubah yang tidak mungkin
menjadi mungkin.
Satu lagi pelajaran tentang cinta. Ketulusan selalu membawa
pertolongan. Bahkan, meski itu terlihat tak mungkin. Itulah cara spesial Tuhan
memperlakukan hamba-hamba-Nya yang spesial.
Pertanyaannya. Sudah seberapa spesial kita di mata Tuhan?
No comments:
Post a Comment