Kamu suka nyindir? Era digital memaksa
kamu untuk menyindir bukan? Apalagi, bertebaran akun-akun di media sosial yang
jualan beraneka macam sindiran. Bukannya kamu suka sekali memposting ulang,
atau meretweet berbagai jenis sindiran yang kamu banget? Bahkan ada yang suka
di-cc-in ke orang lain dengan ditambah hestek-hestek tertentu
untuk menambah cita rasa sindirannya. Ada!
Sindiran adalah nama lain dari kritikan yang
tak menegangkan. Kritik yang menegangkan adalah kritik yang tanpa basa-basi,
langsung nusuk ke dasar hati. Sedang sindiran mampir dulu di kepala, baru turun
ke hati. Kecuali, orang yang kamu sindir tak punya kepala. Eh..saya tak berniat
nyindir loh.
Pandai menyindir adalah indikasi seseorang
cerdas secara intelegensi maupun emosi. Ia bisa menekan hormon kortisol saat ia
melihat ketidaknyamanan. Lalu mengelola emosinya secara elegan dengan sebuah
sindiran. Jadi, suka nyindir berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan
seseorang, termasuk Nabi Ibrahim as. Sebelum era gadget berkembang, beliau
sudah pandai menyindir orang. Kalian mah apa atuh? Anak baru kemarin. Nyindir
pun beraninya di soc-med.
Nabi Ibrahim hidup bersama pamannya. Menurut
Qur’an, pamannya bernama Azar. Sedangkan Perjanjian Lama menyebutnya Terah.
Tapi Perjanjian Baru malah menyebutnya Tharah. Dan, Eusebius, sang Bapak
Sejarah Gereja menyebutnya Athar. Biarlah ini menjadi perbedaan yang menarik
untuk diteliti lain waktu. Kita bahas kembali Nabi Ibrahim dan sindirannya.
Paman beliau (namanya sudah saya sebutkan)
adalah seorang pengrajin patung. Ia membuat berbagai jenis patung lalu
menjualnya. Dan mereka yang membeli patung-patung tersebut menyembahnya sebagai
berhala mereka. Tapi anehnya, Nabi Ibrahim tidak pernah terjerumus dalam
kemusyrikan kaumnya. Itulah manusia pilihan Tuhan. Selalu terjaga sejak dalam
kandungan.
Suatu hari, sang paman pergi keluar untuk
menemui seorang pelanggan. Tinggallah Nabi Ibrahim seorang yang menjaga toko
berhala sang paman. Ada orang tua masuk ke tokonya dan berkata, “Saya mau beli
sebuah patung.” Ibrahim bertanya, “Patung mana yang kau mau?” sambil menunjuk
ke beberapa patung. Saat orang tua itu mau membayar patung yang dia inginkan,
Ibrahim bertanya kepada orang tua itu, “Berapa umurmu Kek?” Orang itu menjawab,
“Tujuh puluh tahun.” Mendengar jawaban si Kakek, Nabi Ibrahim berkata
kepadanya, “Apa kamu tahu bahwa patung ini dibuat kemarin. Kamu tidak merasa
malu berlutut di hadapan sebuah patung yang baru berumur sehari?” akhirnya, si
orang tua tidak jadi beli patungnya.
Itulah
sosok Nabi Ibrahim saat muda. Suka menyindir orang sebab kedunguan kaumnya.
Sindiran membuat orang di sekitarnya, minimal, menggunakan akalnya. Sebab,
untuk meninggalkan kebiasaan warisan nenek moyang sangatlah sulit, meski itu
adalah pamannya sendiri, yang sering berdebat dengan beliau tentang masalah
berhala.
Pamannya suka kesal dengan dakwah Nabi Ibrahim
yang menyerang berhala-berhala kaumnya. Bukan hanya berimbas pada menurunnya
omset penjualan, tapi juga rasa malu yang ditanggung sang paman karena kelakuan
keponakannya. Di balik semua itu, pamannya sangat terkesan dengan perilaku
mulia Nabi Ibrahim. Sampai-sampai, ia mempercayakan puteri kesayangannya untuk
dirawat Nabi Ibrahim. Subhanallah.
Luar biasa bukan? Dengan sindiran, bisa
mendekatkan diri pada pelaminan. Sayangnya, era digital malah membuat kaum
apa kabar jodoh? (sebut saja jomblo) rentan mendapat sindiran, yang
membuatnya semakin jauh dari pelaminan. Tapi, sindiran beliau adalah sindiran
langit, diajarkan langsung oleh Sang Khaliq. Beda kelas lah dengan sindiran
yang biasa numpuk di temlen. Lemah.
Satu sindiran fenomenal yang dilakukan Nabi
Ibrahim supaya orang memakai akalnya, tertulis di dalam Quran. Maka, ketika kegelapan malam menyelimutunya
ia melihat sebuah bintang. Ia berkata, “Inikah Tuhan-ku?” Kemudian ketika
bintang itu terbenam ia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.“ (QS. Al-An’am: 77)
Banyak orang menganggap Nabi Ibrahim sempat
ragu dengan menganggap bintang adalah tuhannya. Ini anggapan yang sungguh
keliru. Keyakinan beliau sudah terbentuk saat muda. Ayat ini, sebenarnya
mengandung sebuah sindiran yang khas, khas gaya menyindir Nabi Ibrahim. Dan di
era digital, banyak yang sering menggunakan pola ini. “Apakah betul kamu akan
menjadi mentari dalam hidupku? Saat melihat bulan aja kamu langsung tenggelam.”
Lalu dikatakan lagi: Kemudian tatkala ia melihat bulan
terbit dengan memancarkan cahaya ia berkata, “Inikah Tuhan-ku?” Tetapi tatkala
terbenam ia berkata, “Seandainya Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku
niscaya aku akan menjadi di antara kaum yang sesat.” (QS. Al-An’am: 78)
Nabi Ibrahim menggunakan sebuah pola sindiran
yang membandingkan sifat-sifat yang melekat dari dua hal yang dibandingkan.
Tuhan adalah wujud yang patut disembah, sebab Dia takkan pernah mati, dan tak
ada yang tahu juga sejak kapan Dia hidup. Apa yang bisa diperbuat oleh matahari
dan bulan? Mereka memang indah dengan pancaran sinarnya yang membuat mereka ada
(hidup), tapi mereka juga tenggelam. Dan,
Tuhan tidaklah seperti itu.
Lalu dikatakan lagi: Maka, tatkala ia melihat matahari bersinar ia berkata,
“Inikah Tuhan-ku? Ini yang paling besar!” Tetapi, ketika terbenam ia berkata, “Hai
kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa-apa yang kamu persekutukan. (QS. Al-An’am: 79)
Ada satu lagi sindiran Nabi Ibrahim yang
sangat jleb untuk para pelaku syirik. Sindiran ini terjadi saat Nabi Ibrahim
menghancurkan berhala-berhala kaumnya. Mereka yang bingung tuhan-tuhan mereka
dihancurkan, kecuali berhala yang besar, begitu saja bertanya-tanya, siapakah
yang melakukan ini? Orang-orang langsung saja memberitahu bahwa ada seorang
anak muda yang bisa menjelek-jelekan tuhan-tuhan mereka, namanya Ibrahim.
Dibawalah Ibrahim di tempat kejadian perkara, supaya orang tahu betapa zalimnya
beliau. Lalu ditanyalah Ibrahim, “Apakah engkau yang berbuat ini terhadap
tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?”
Nabi Ibrahim dengan rileksnya menjawab, “Sebenarnya
(patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika
mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya: 64). Sindiran Nabi Ibrahim
sangat menusuk kesadaran kaumnya. Pada akhirnya, mereka cuma bisa menundukkan
kepala sambil berkata kepada Nabi Ibrahim, “Engkau pasti tahu bahwa
berhala-berhala itu tidak dapat bicara.”
Gimana? Nyindir itu enak kan? Dengan sindiran
terlihat seberapa cerdas intelegensi dan emosi kamu. Tapi, Sindirannya, yah
harus yang berkualitas, bukan yang asal bunyi.
No comments:
Post a Comment