Wednesday, July 13, 2016

Belajar Nyindir dari Nabi Ibrahim

Kamu suka nyindir? Era digital memaksa kamu untuk menyindir bukan? Apalagi, bertebaran akun-akun di media sosial yang jualan beraneka macam sindiran. Bukannya kamu suka sekali memposting ulang, atau meretweet berbagai jenis sindiran yang kamu banget? Bahkan ada yang suka di-cc-in ke orang lain dengan ditambah hestek-hestek tertentu untuk menambah cita rasa sindirannya. Ada!
Sindiran adalah nama lain dari kritikan yang tak menegangkan. Kritik yang menegangkan adalah kritik yang tanpa basa-basi, langsung nusuk ke dasar hati. Sedang sindiran mampir dulu di kepala, baru turun ke hati. Kecuali, orang yang kamu sindir tak punya kepala. Eh..saya tak berniat nyindir loh.

Pandai menyindir adalah indikasi seseorang cerdas secara intelegensi maupun emosi. Ia bisa menekan hormon kortisol saat ia melihat ketidaknyamanan. Lalu mengelola emosinya secara elegan dengan sebuah sindiran. Jadi, suka nyindir berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan seseorang, termasuk Nabi Ibrahim as. Sebelum era gadget berkembang, beliau sudah pandai menyindir orang. Kalian mah apa atuh? Anak baru kemarin. Nyindir pun beraninya di soc-med.

Nabi Ibrahim hidup bersama pamannya. Menurut Qur’an, pamannya bernama Azar. Sedangkan Perjanjian Lama menyebutnya Terah. Tapi Perjanjian Baru malah menyebutnya Tharah. Dan, Eusebius, sang Bapak Sejarah Gereja menyebutnya Athar. Biarlah ini menjadi perbedaan yang menarik untuk diteliti lain waktu. Kita bahas kembali Nabi Ibrahim dan sindirannya.

Paman beliau (namanya sudah saya sebutkan) adalah seorang pengrajin patung. Ia membuat berbagai jenis patung lalu menjualnya. Dan mereka yang membeli patung-patung tersebut menyembahnya sebagai berhala mereka. Tapi anehnya, Nabi Ibrahim tidak pernah terjerumus dalam kemusyrikan kaumnya. Itulah manusia pilihan Tuhan. Selalu terjaga sejak dalam kandungan.

Suatu hari, sang paman pergi keluar untuk menemui seorang pelanggan. Tinggallah Nabi Ibrahim seorang yang menjaga toko berhala sang paman. Ada orang tua masuk ke tokonya dan berkata, “Saya mau beli sebuah patung.” Ibrahim bertanya, “Patung mana yang kau mau?” sambil menunjuk ke beberapa patung. Saat orang tua itu mau membayar patung yang dia inginkan, Ibrahim bertanya kepada orang tua itu, “Berapa umurmu Kek?” Orang itu menjawab, “Tujuh puluh tahun.” Mendengar jawaban si Kakek, Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Apa kamu tahu bahwa patung ini dibuat kemarin. Kamu tidak merasa malu berlutut di hadapan sebuah patung yang baru berumur sehari?” akhirnya, si orang tua tidak jadi beli patungnya.

 Itulah sosok Nabi Ibrahim saat muda. Suka menyindir orang sebab kedunguan kaumnya. Sindiran membuat orang di sekitarnya, minimal, menggunakan akalnya. Sebab, untuk meninggalkan kebiasaan warisan nenek moyang sangatlah sulit, meski itu adalah pamannya sendiri, yang sering berdebat dengan beliau tentang masalah berhala.

Pamannya suka kesal dengan dakwah Nabi Ibrahim yang menyerang berhala-berhala kaumnya. Bukan hanya berimbas pada menurunnya omset penjualan, tapi juga rasa malu yang ditanggung sang paman karena kelakuan keponakannya. Di balik semua itu, pamannya sangat terkesan dengan perilaku mulia Nabi Ibrahim. Sampai-sampai, ia mempercayakan puteri kesayangannya untuk dirawat Nabi Ibrahim. Subhanallah.

Luar biasa bukan? Dengan sindiran, bisa mendekatkan diri pada pelaminan. Sayangnya, era digital malah membuat kaum apa kabar jodoh? (sebut saja jomblo) rentan mendapat sindiran, yang membuatnya semakin jauh dari pelaminan. Tapi, sindiran beliau adalah sindiran langit, diajarkan langsung oleh Sang Khaliq. Beda kelas lah dengan sindiran yang biasa numpuk di temlen. Lemah.

Satu sindiran fenomenal yang dilakukan Nabi Ibrahim supaya orang memakai akalnya, tertulis di dalam Quran. Maka, ketika kegelapan malam menyelimutunya ia melihat sebuah bintang. Ia berkata, “Inikah Tuhan-ku?” Kemudian ketika bintang itu terbenam ia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.“ (QS. Al-An’am: 77)

Banyak orang menganggap Nabi Ibrahim sempat ragu dengan menganggap bintang adalah tuhannya. Ini anggapan yang sungguh keliru. Keyakinan beliau sudah terbentuk saat muda. Ayat ini, sebenarnya mengandung sebuah sindiran yang khas, khas gaya menyindir Nabi Ibrahim. Dan di era digital, banyak yang sering menggunakan pola ini. “Apakah betul kamu akan menjadi mentari dalam hidupku? Saat melihat bulan aja kamu langsung tenggelam.”

Lalu dikatakan lagi: Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit dengan memancarkan cahaya ia berkata, “Inikah Tuhan-ku?” Tetapi tatkala terbenam ia berkata, “Seandainya Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku niscaya aku akan menjadi di antara kaum yang sesat.” (QS. Al-An’am: 78)
Nabi Ibrahim menggunakan sebuah pola sindiran yang membandingkan sifat-sifat yang melekat dari dua hal yang dibandingkan. Tuhan adalah wujud yang patut disembah, sebab Dia takkan pernah mati, dan tak ada yang tahu juga sejak kapan Dia hidup. Apa yang bisa diperbuat oleh matahari dan bulan? Mereka memang indah dengan pancaran sinarnya yang membuat mereka ada (hidup),  tapi mereka juga tenggelam. Dan, Tuhan tidaklah seperti itu.

Lalu dikatakan lagi: Maka, tatkala ia melihat matahari bersinar ia berkata, “Inikah Tuhan-ku? Ini yang paling besar!” Tetapi, ketika terbenam ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa-apa yang kamu persekutukan. (QS. Al-An’am: 79)

Ada satu lagi sindiran Nabi Ibrahim yang sangat jleb untuk para pelaku syirik. Sindiran ini terjadi saat Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala kaumnya. Mereka yang bingung tuhan-tuhan mereka dihancurkan, kecuali berhala yang besar, begitu saja bertanya-tanya, siapakah yang melakukan ini? Orang-orang langsung saja memberitahu bahwa ada seorang anak muda yang bisa menjelek-jelekan tuhan-tuhan mereka, namanya Ibrahim. Dibawalah Ibrahim di tempat kejadian perkara, supaya orang tahu betapa zalimnya beliau. Lalu ditanyalah Ibrahim, “Apakah engkau yang berbuat ini terhadap tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?”

Nabi Ibrahim dengan rileksnya menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya: 64). Sindiran Nabi Ibrahim sangat menusuk kesadaran kaumnya. Pada akhirnya, mereka cuma bisa menundukkan kepala sambil berkata kepada Nabi Ibrahim, “Engkau pasti tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat bicara.”

Gimana? Nyindir itu enak kan? Dengan sindiran terlihat seberapa cerdas intelegensi dan emosi kamu. Tapi, Sindirannya, yah harus yang berkualitas, bukan yang asal bunyi.

No comments:

Post a Comment