Mungkin anda salah seorang yang punya
pengalaman tidak menyenangkan dengan Islam. Atau, anda adalah korban dari
beberapa kezaliman atas nama Islam. Atau, anda adalah saksi mata betapa
beringasnya Islam. Atau.. atau.. atau.. terlalu banyak manusia di dunia ini
yang sudah menanamkan “image” mengerikan tentang Islam dalam dirinya, bahkan
dalam diri orang lain.
Mungkin anda lelah dengan Islam, anda benci
dengan Islam, dan mungkin juga anda murka dengan Islam. Tapi, sebenarnya anda
lelah dengan orang Islamnya, bukan dengan agamanya. Anda sudah terjebak pada
“hasty generalization” sebab anda menilai Islam dari umatnya. Siapapun anda,
muslim atau non-muslim, pahamilah bahwa Islam tak seperti apa yang anda bayangkan.
Saya tidak akan panjang lebar membahas “tak
adil”nya anda dengan menilai agama dari umatnya. Anda sudah terlalu dewasa
untuk itu. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa Islam tak “se-sangar”
yang anda pikirkan. Bukan karena saya seorang muslim yang mau mencari dalih
pembenaran, tapi itulah ajaran Islam yang harus diamalkan dan disampaikan
kepada umat manusia.
Tidak perlu saya kemukakan banyak ayat untuk
mengubah “image buruk” anda tentang Islam. Satu ayat cukuplah kiranya sebagai
gambaran bahwa Islam adalah agama yang “rahmatan lil ‘alamin”, dimana rahmatnya
meliputi segala alam. Sekiranya anda temukan laknat di antara para penganut
agama Islam, cukuplah anda simpulkan bahwa mereka bukanlah seorang muslim yang
taat.
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku
adil dan berbuat kebaikan dan memberi seperti kepada kaum kerabat. Dan melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan pemberontakan. Dia memberi kamu nasehat
supaya kamu mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 91)
Sekilas, anda melihat ayat ini hanya berupa
nasehat belaka, yang umumnya disebut sebagai “amar ma’ruf nahi munkar”,
menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk. Padahal, ada suatu hikmah
yang tersembunyi di balik nasehat itu. Tak setiap orang mampu memahaminya sebab
ia terlalu halus untuk dilihat secara kasat mata oleh mata kita yang terlalu
kotor ini.
Amar ma’ruf yang
terdiri dari tiga bentuk amal kebaikan ini memiliki derajat kebaikan yang makin
tinggi menuju puncaknya, yakni ‘adil, ihsaan, dan iitaai-dzil-qurba.
Lalu, diikuti dengan tiga amal buruk yang terangkum dalam nahi munkar,
yakni fahsya, munkar, dan baghy. Tiga amalan keburukan ini pun
memiliki tingkat keburukannya.
Nasehat yang ringkas ini adalah petunjuk bagi
seorang muslim bagaimana ia harus mengambil sikap atas perlakuan orang lain
terhadapnya. Ayat ini mengajarkan setiap muslim untuk menjalani aspek
horizontal dalam kehidupannya dengan cara yang terbaik. Sehingga, sekiranya
setiap muslim bahkan setiap manusia di bumi ini mengamalkannya, maka mustahil
kekacauan bisa kita dapati di kehidupan kita ini.
Saat seseorang dalam kehidupan kita berbuat
baik kepada kita, apapun bentuknya, maka derajat paling rendah merespon sikap
baiknya itu adalah dengan prinsip ‘adil. Misal, tetangga kita memberikan
sepiring pisang goreng hangat di pagi hari yang amat dingin, maka kita
membalasnya dengan memberikan sepiring singkong rebus esok harinya. Ini adalah
prinsip dasar dari ‘adil, yakni antara aksi dan reaksi ekuivalen di
kedua sisinya.
Lalu, bagaimana jika orang lain bukannya
berbuat baik, malah berbuat buruk kepada kita? Apakah kita harus menerapkan
prinsip ‘adil untuk sikap buruknya itu? Menurut ayat ini, saat sikap
buruk yang kita terima maka berlakulah amalan “nahi munkar”, yang mencegah kita
untuk membalas keburukan dengan keburukan serupa.
Baiklah, saya tarik perhatian anda kembali
kepada pengambilan sikap atas perlakuan baik seseorang. Karena setiap kita
selalu siap bukan menerima kebaikan orang lain? Marilah kita beralih kepada
derajat kedua, yakni ihsan. Ihsan secara bahasa adalah berbuat
kebaikan. Dalam konteks ayat ini, ihsan adalah berbuat kebaikan lebih
atas kebaikan orang lain. Pada fase ini, aksi-reaksi menjadi tidak ekuivalen
lagi, tapi berat sebelah kepada si penerima kebaikan. Kalau pada fase ‘adil
kita hanya membalas dengan sepiring singkong rebus, maka pada fase ihsaan,
sepiring singkong rebus ditambah dengan seceret susu hangat. Kebaikan dibalas
dengan kebaikan tapi ada plus-plusnya juga.
Dan sampailah kita pada puncak ke-rahmatan
lil ‘alamin-an Islam dalam menyikapi orang lain yang berbuat baik kepada
kita, yakni iitaai-dzil-qurba. Iitaai-dzil-qurba berarti memberi
seperti kepada kerabat sendiri. Pada fase ini, kita sudah tidak berbicara lagi
tentang jumlah. Kita berbicara tentang rasa. Simpati, empati, cinta dan kasih
bercampur menciptakan suatu rasa kesadaran tertentu yang amat kuat, semisal
kekuatan yang mendorong seorang ibu mencintai anak-anaknya.
Inilah yang Islam ajarkan kepada umatnya.
Memperlakukan manusia sebagaimana seorang ibu memperlakukan anaknya. Itulah
puncak yang harus dicapai seorang muslim dalam memenuhi perintah Quran ini.
Kalaupun puncak ini masih sulit untuk dicapai, minimal seorang muslim mampu
membalas kebaikan dengan kebaikan serupa. Inilah selemah-lemahnya amalan.
Sekarang, kita beralih kepada pembahasan
bagaimana sikap seorang muslim saat menerima perlakukan buruk orang lain? Sudah
dijelaskan secara ringkas bahwa saat suatu keburukan yang diterima, maka
terapkanlah prinsip “nahi munkar”. Dengan prinsip ini, seorang muslim bukan
hanya siap menerima kebaikan orang lain, tapi juga siap menerima keburukan
orang lain. Jadi, apapun kebaikan atau keburukan yang ia terima, kebaikanlah
yang harus diperlihatkan.
Tiga perbuatan buruk yang sudah disebutkan
dalam ayat tersebut memiliki tingkat keburukannya masing-masing. Dimulai dari
“fahsya” yang berarti perbuatan keji. Fahsya berada pada derajat
keburukan terendah sebab karakteristik fahsya adalah hanya si pelaku kejahatan
yang tahu tentang perbuatannya itu.
Tingkat kedua adalah “munkar” yang berarti
keburukan yang nyata. Munkar mengandung arti keburukan-keburukan yang
orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak
menderita suatu kerugian atas hak-hak mereka.
Tingkat ketiga adalah tingkatan paling buruk
yakni “baghy”. Baghy memiliki arti pemberontakan, bisa juga pelanggaran
keji. Baghy merangkum semua dosa dan keburukan yang tidak hanyaa nampak,
dirasakan dan dicela oleh orang lain, tapi juga menimbulkan kemudharatan yang
nyata pada si pelaku sendiri.
Sebagai penutup tulisannya ini, saya mau
bertanya satu hal kepada anda: Apakah Islam adalah agama yang menjadi sebab
munculnya kekacauan di dunia ini? Kalau anda menjawabnya dengan “ya”, anda
masih belum beranjak dari kekelirauan anda. Saran saya banyak-banyak lah
beristirahat dan piknik bersama keluarga. Hehehe... J
No comments:
Post a Comment