Wednesday, July 13, 2016

Puncak ke-Rahmatan lil ‘Alamin-an Islam: Iitaai-dzil-Qurba

Mungkin anda salah seorang yang punya pengalaman tidak menyenangkan dengan Islam. Atau, anda adalah korban dari beberapa kezaliman atas nama Islam. Atau, anda adalah saksi mata betapa beringasnya Islam. Atau.. atau.. atau.. terlalu banyak manusia di dunia ini yang sudah menanamkan “image” mengerikan tentang Islam dalam dirinya, bahkan dalam diri orang lain.
Mungkin anda lelah dengan Islam, anda benci dengan Islam, dan mungkin juga anda murka dengan Islam. Tapi, sebenarnya anda lelah dengan orang Islamnya, bukan dengan agamanya. Anda sudah terjebak pada “hasty generalization” sebab anda menilai Islam dari umatnya. Siapapun anda, muslim atau non-muslim, pahamilah bahwa Islam tak seperti apa yang anda bayangkan.

Saya tidak akan panjang lebar membahas “tak adil”nya anda dengan menilai agama dari umatnya. Anda sudah terlalu dewasa untuk itu. Saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa Islam tak “se-sangar” yang anda pikirkan. Bukan karena saya seorang muslim yang mau mencari dalih pembenaran, tapi itulah ajaran Islam yang harus diamalkan dan disampaikan kepada umat manusia.

Tidak perlu saya kemukakan banyak ayat untuk mengubah “image buruk” anda tentang Islam. Satu ayat cukuplah kiranya sebagai gambaran bahwa Islam adalah agama yang “rahmatan lil ‘alamin”, dimana rahmatnya meliputi segala alam. Sekiranya anda temukan laknat di antara para penganut agama Islam, cukuplah anda simpulkan bahwa mereka bukanlah seorang muslim yang taat.

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi seperti kepada kaum kerabat. Dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan pemberontakan. Dia memberi kamu nasehat supaya kamu mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 91)

Sekilas, anda melihat ayat ini hanya berupa nasehat belaka, yang umumnya disebut sebagai “amar ma’ruf nahi munkar”, menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk. Padahal, ada suatu hikmah yang tersembunyi di balik nasehat itu. Tak setiap orang mampu memahaminya sebab ia terlalu halus untuk dilihat secara kasat mata oleh mata kita yang terlalu kotor ini.

Amar ma’ruf yang terdiri dari tiga bentuk amal kebaikan ini memiliki derajat kebaikan yang makin tinggi menuju puncaknya, yakni ‘adil, ihsaan, dan iitaai-dzil-qurba. Lalu, diikuti dengan tiga amal buruk yang terangkum dalam nahi munkar, yakni fahsya, munkar, dan baghy. Tiga amalan keburukan ini pun memiliki tingkat keburukannya.

Nasehat yang ringkas ini adalah petunjuk bagi seorang muslim bagaimana ia harus mengambil sikap atas perlakuan orang lain terhadapnya. Ayat ini mengajarkan setiap muslim untuk menjalani aspek horizontal dalam kehidupannya dengan cara yang terbaik. Sehingga, sekiranya setiap muslim bahkan setiap manusia di bumi ini mengamalkannya, maka mustahil kekacauan bisa kita dapati di kehidupan kita ini.

Saat seseorang dalam kehidupan kita berbuat baik kepada kita, apapun bentuknya, maka derajat paling rendah merespon sikap baiknya itu adalah dengan prinsip ‘adil. Misal, tetangga kita memberikan sepiring pisang goreng hangat di pagi hari yang amat dingin, maka kita membalasnya dengan memberikan sepiring singkong rebus esok harinya. Ini adalah prinsip dasar dari ‘adil, yakni antara aksi dan reaksi ekuivalen di kedua sisinya.

Lalu, bagaimana jika orang lain bukannya berbuat baik, malah berbuat buruk kepada kita? Apakah kita harus menerapkan prinsip ‘adil untuk sikap buruknya itu? Menurut ayat ini, saat sikap buruk yang kita terima maka berlakulah amalan “nahi munkar”, yang mencegah kita untuk membalas keburukan dengan keburukan serupa.

Baiklah, saya tarik perhatian anda kembali kepada pengambilan sikap atas perlakuan baik seseorang. Karena setiap kita selalu siap bukan menerima kebaikan orang lain? Marilah kita beralih kepada derajat kedua, yakni ihsan. Ihsan secara bahasa adalah berbuat kebaikan. Dalam konteks ayat ini, ihsan adalah berbuat kebaikan lebih atas kebaikan orang lain. Pada fase ini, aksi-reaksi menjadi tidak ekuivalen lagi, tapi berat sebelah kepada si penerima kebaikan. Kalau pada fase ‘adil kita hanya membalas dengan sepiring singkong rebus, maka pada fase ihsaan, sepiring singkong rebus ditambah dengan seceret susu hangat. Kebaikan dibalas dengan kebaikan tapi ada plus-plusnya juga.

Dan sampailah kita pada puncak ke-rahmatan lil ‘alamin-an Islam dalam menyikapi orang lain yang berbuat baik kepada kita, yakni iitaai-dzil-qurba. Iitaai-dzil-qurba berarti memberi seperti kepada kerabat sendiri. Pada fase ini, kita sudah tidak berbicara lagi tentang jumlah. Kita berbicara tentang rasa. Simpati, empati, cinta dan kasih bercampur menciptakan suatu rasa kesadaran tertentu yang amat kuat, semisal kekuatan yang mendorong seorang ibu mencintai anak-anaknya.

Inilah yang Islam ajarkan kepada umatnya. Memperlakukan manusia sebagaimana seorang ibu memperlakukan anaknya. Itulah puncak yang harus dicapai seorang muslim dalam memenuhi perintah Quran ini. Kalaupun puncak ini masih sulit untuk dicapai, minimal seorang muslim mampu membalas kebaikan dengan kebaikan serupa. Inilah selemah-lemahnya amalan.

Sekarang, kita beralih kepada pembahasan bagaimana sikap seorang muslim saat menerima perlakukan buruk orang lain? Sudah dijelaskan secara ringkas bahwa saat suatu keburukan yang diterima, maka terapkanlah prinsip “nahi munkar”. Dengan prinsip ini, seorang muslim bukan hanya siap menerima kebaikan orang lain, tapi juga siap menerima keburukan orang lain. Jadi, apapun kebaikan atau keburukan yang ia terima, kebaikanlah yang harus diperlihatkan.

Tiga perbuatan buruk yang sudah disebutkan dalam ayat tersebut memiliki tingkat keburukannya masing-masing. Dimulai dari “fahsya” yang berarti perbuatan keji. Fahsya berada pada derajat keburukan terendah sebab karakteristik fahsya adalah hanya si pelaku kejahatan yang tahu tentang perbuatannya itu.
Tingkat kedua adalah “munkar” yang berarti keburukan yang nyata. Munkar mengandung arti keburukan-keburukan yang orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak menderita suatu kerugian atas hak-hak mereka.

Tingkat ketiga adalah tingkatan paling buruk yakni “baghy”. Baghy memiliki arti pemberontakan, bisa juga pelanggaran keji. Baghy merangkum semua dosa dan keburukan yang tidak hanyaa nampak, dirasakan dan dicela oleh orang lain, tapi juga menimbulkan kemudharatan yang nyata pada si pelaku sendiri.

Sebagai penutup tulisannya ini, saya mau bertanya satu hal kepada anda: Apakah Islam adalah agama yang menjadi sebab munculnya kekacauan di dunia ini? Kalau anda menjawabnya dengan “ya”, anda masih belum beranjak dari kekelirauan anda. Saran saya banyak-banyak lah beristirahat dan piknik bersama keluarga. Hehehe... J

No comments:

Post a Comment