Saturday, July 16, 2016

Menikmati Euforia Pokemon GO

Dunia game-online sedang gembar dengan kehadiran sebuah game berbasis GPS...apalah, gak ngerti juga...yang bernama “Pokemon GO”. Gak ngerti juga mainnya kayak gimana? Saya gak tega download game tersebut. Maklumlah, smartphone saya tak secanggih mereka yang masygul dengan game ini.
Tulisan ini juga, mungkin, sayanya aja yang terlalu sensi sama itu game. Jadi, gak benar-benar netral. Tapi, bukankah hidup itu harus memihak? Tak ada yang benar-benar netral dalam hidup ini. Apakah kita mau bersikap netral dengan kemunkaran? Tanyalah teman-teman FPI.

Allah pernah berfirman, “Innamal hayatud dunya la’ibun wa lahwun”, Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.

Hidup di dunia saja adalah permainan. Dan di dalam sebuah permainan (hidup) tadi, diciptakan lagi permainan (game). Kita hidup dalam sebuah lingkaran permainan-permainan.

Saya suka sekali bermain. Sebab, kita semua pernah kecil. Kita semua pernah mengalami suatu masa dimana hanya bermainlah yang bisa kita lakukan untuk mengisi kehidupan ini.

Dan permainan yang saya suka adalah bermain layang-layang. Permainan ini memiliki resiko yang amat tinggi. Kulit hitam, rambut bule, dehidrasi, sakit kepala, bibir pecah-pecah, sariawan, dan tangan “kebeler” , juga fatalnya kematian. Ya, bisa lebih dekat dengan kematian kalau hobi main kejar-kejaran layangan yang putus.

Permainan layang-layang adalah permainan musiman. Saat musimnya datang, gambaran euforianya dapat terlihat pada kabel-kabel listrik, juga pohon-pohon tinggi. Itulah yang namanya permainan. Bersifat musiman. Saat musimnya berakhir, yaitu saat minat orang menurun untuk memainkannya, saat itulah ia akan ditinggalkan.

Bagi kita yang dulunya pernah kecil, yaitu saat kencing saja belum selurus sekarang. Kita tidak perlu mempertanyakan untuk apa kita melakukannya. Sebab, yang kita butuhkan saat itu adalah sesuatu yang bisa mengisi 24 jam kita, dan itu selain makan, minum, tidur.

Kita tidak pernah benar-benar sadar bahwa bermain layang-layang itu berbahaya. Justru, kita berpikir bahwa ketiadaan layang-layang itu sendiri yang lebih berbahaya. Untuk sebuah euforia “permainan” kita tak butuh alasan untuk tidak ambil bagian. Meski, pada akhirnya kita pun tak punya alasan untuk bertahan.

Dari sini, saya paham, maksud dari Firman Allah di atas. Kehidupan ini hanyalah permainan. Dimana suatu saat nanti kita, mau tidak mau-suka tidak suka, akan meninggalkannya juga. Dan memang tak perlu alasan untuk bertahan bukan?

Setiap kehidupan fisik kita, pada akhirnya, fana termakan usia. Kenikmatan-kenikmatan kebendaan, pada akhirnya, usia tak mengizinkan kita untuk kekal menikmati. Kita, pada akhirnya, tidak benar-benar memiliki semua hal itu. 

Bukankah euforia itu hanya sebuah dentuman di awal? Gemanya lama-lama menghilang. Lenyap termakan dentuman lain dari sebuah euforia baru.

Seperti itulah perjalanan hidup “batu akik” yang sangat fenomenal. Takdirnya tak mengizinkannya kekal, sebab itulah sifat dari “permainan”.

Kalau permainan masuk ke dalam kehidupan pernikahan, tunggulah saat dentuman itu lenyap. Tiada yang tersisa dari sebuah rumah tangga. Hanya menyisakan kenangan manis yang sempat tercipta. Ia tak benar-banar nyata. Dan kita tak benar-benar memilikinya.

Saya memang tak suka main game di smartphone atau di komputer baik yang online ataupun yang offline. Tapi bukan berarti tidak pernah main. Sesekali suka juga bermain “Plants vs Zombies” sama istri. Sekedar menciptakan dentuman lain dalam rumah tangga. Biar gak flat gitu.

Katanya, game itu bagus untuk kecerdasan. Ya, memang bagus. Banyak penelitian membuktikan. Tapi, pertanyaannya adalah, apa hidup ini hanya butuh cerdas? Agar bisa ng-akal-in orang yang tampak bodoh?

Saya tidak tahu, mengapa mereka yang rajin main game on-off-line terlihat anti-sosial? Mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi, saya melihat mereka jadi tidak peka dengan lingkungan sekitar. Bahwa, di sekelilingnya ada makhluk hidup yang bernafas layaknya ia.

Malah, saya baca di berita, gara-gara “Pokemon GO”, seseorang menjadi tidak peka dengan keberadaan mobil yang bisa membunuhnya kapan saja. Dan di sebuah video yang menjadi viral di FB, seorang wanita mencari pokemon hingga ke toilet pria.

Kita sebagai manusia, memang benar-benar konsumtif. Untuk memuaskan hasrat kita, berapapun itu akan kita korbankan. Apalagi cuma install aplikasi “Pokemon GO” yang gak nyampe 100 Mb. Tapi kita tak pernah benar-benar tahu atau sadar bahwa kita cuma “komoditi” yang tengah dieksploitasi.

Memang agak sedikit naif kalau kita mengatakan bahwa mustahil hidup tanpa mengeksploitasi pihak lain. Bahkan, dalam kehidupan beragama pun ada. Bukankah dakwah agama adalah upaya untuk mengeksploitasi kehidupan manusia yang cenderung duniawi?

Tapi, ada perbedaan di antara keduanya. Agama tahu bahwa “kehilangan” itu menyakitkan, sebab hidup mengajarkan manusia untuk “memiliki”. Untuk mengatasi ini, muncullah konsep “pengorbanan” yang tujuannya bukan untuk memperkaya Tuhan, sebab untuk apa Tuhan dengan segala yang kita miliki?

Disanalah manusia belajar untuk tidak merasa memiliki. Disanalah manusia belajar untuk kehilangan apa yang ia cintai.

Saat seorang manusia (beragama) merasa bahwa setiap kepemilikannya hanyalah sebuah titipan, apa perlunya sebuah euforia dalam hidupnya. Sebab, kehidupan ini adalah sebuah fase untuk mencapai titik sempurna. Bukan sebuah permainan, yang pada akhirnya ditinggalkan.

Saran saya yang sedang dalam pengaruh “sensi” dan “suka reaktif” ini. Secepatnyalah main “Pokemon GO” sampai puas. Game ini sudah mulai dilirik pemerintah loh. Bisa jadi banyak orang yang sensi dan reaktif seperti saya disana.

Tapi ingat. Pada akhirnya kita pun akan kembali kepada takdir kita yang kekal. Ya, apalagi kalau bukan mencari jodoh. Dan jodoh itu lebih rumit dari sebuah game online. Percaya deh..

No comments:

Post a Comment