Tulisan ini juga, mungkin, sayanya aja yang terlalu sensi sama itu game. Jadi, gak benar-benar netral. Tapi, bukankah hidup itu harus memihak? Tak ada yang benar-benar netral dalam hidup ini. Apakah kita mau bersikap netral dengan kemunkaran? Tanyalah teman-teman FPI.
Allah pernah berfirman, “Innamal hayatud dunya la’ibun wa
lahwun”, Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.
Hidup di dunia saja adalah permainan. Dan di dalam sebuah
permainan (hidup) tadi, diciptakan lagi permainan (game). Kita hidup dalam
sebuah lingkaran permainan-permainan.
Saya suka sekali bermain. Sebab, kita semua pernah kecil. Kita
semua pernah mengalami suatu masa dimana hanya bermainlah yang bisa kita
lakukan untuk mengisi kehidupan ini.
Dan permainan yang saya suka adalah bermain layang-layang. Permainan
ini memiliki resiko yang amat tinggi. Kulit hitam, rambut bule, dehidrasi,
sakit kepala, bibir pecah-pecah, sariawan, dan tangan “kebeler” , juga fatalnya
kematian. Ya, bisa lebih dekat dengan kematian kalau hobi main kejar-kejaran
layangan yang putus.
Permainan layang-layang adalah permainan musiman. Saat musimnya
datang, gambaran euforianya dapat terlihat pada kabel-kabel listrik, juga
pohon-pohon tinggi. Itulah yang namanya permainan. Bersifat musiman. Saat musimnya
berakhir, yaitu saat minat orang menurun untuk memainkannya, saat itulah ia
akan ditinggalkan.
Bagi kita yang dulunya pernah kecil, yaitu saat kencing saja
belum selurus sekarang. Kita tidak perlu mempertanyakan untuk apa kita
melakukannya. Sebab, yang kita butuhkan saat itu adalah sesuatu yang bisa
mengisi 24 jam kita, dan itu selain makan, minum, tidur.
Kita tidak pernah benar-benar sadar bahwa bermain
layang-layang itu berbahaya. Justru, kita berpikir bahwa ketiadaan
layang-layang itu sendiri yang lebih berbahaya. Untuk sebuah euforia “permainan”
kita tak butuh alasan untuk tidak ambil bagian. Meski, pada akhirnya kita pun
tak punya alasan untuk bertahan.
Dari sini, saya paham, maksud dari Firman Allah di atas. Kehidupan
ini hanyalah permainan. Dimana suatu saat nanti kita, mau tidak mau-suka tidak
suka, akan meninggalkannya juga. Dan memang tak perlu alasan untuk bertahan
bukan?
Setiap kehidupan fisik kita, pada akhirnya, fana termakan
usia. Kenikmatan-kenikmatan kebendaan, pada akhirnya, usia tak mengizinkan kita
untuk kekal menikmati. Kita, pada akhirnya, tidak benar-benar memiliki semua
hal itu.
Bukankah euforia itu hanya sebuah dentuman di awal? Gemanya lama-lama
menghilang. Lenyap termakan dentuman lain dari sebuah euforia baru.
Seperti itulah perjalanan hidup “batu akik” yang sangat
fenomenal. Takdirnya tak mengizinkannya kekal, sebab itulah sifat dari “permainan”.
Kalau permainan masuk ke dalam kehidupan pernikahan,
tunggulah saat dentuman itu lenyap. Tiada yang tersisa dari sebuah rumah
tangga. Hanya menyisakan kenangan manis yang sempat tercipta. Ia tak
benar-banar nyata. Dan kita tak benar-benar memilikinya.
Saya memang tak suka main game di smartphone atau di
komputer baik yang online ataupun yang offline. Tapi bukan
berarti tidak pernah main. Sesekali suka juga bermain “Plants vs Zombies” sama
istri. Sekedar menciptakan dentuman lain dalam rumah tangga. Biar gak flat
gitu.
Katanya, game itu bagus untuk kecerdasan. Ya, memang
bagus. Banyak penelitian membuktikan. Tapi, pertanyaannya adalah, apa hidup ini
hanya butuh cerdas? Agar bisa ng-akal-in orang yang tampak bodoh?
Saya tidak tahu, mengapa mereka yang rajin main game
on-off-line terlihat anti-sosial? Mungkin hanya perasaan saya saja. Tapi, saya
melihat mereka jadi tidak peka dengan lingkungan sekitar. Bahwa, di
sekelilingnya ada makhluk hidup yang bernafas layaknya ia.
Malah, saya baca di berita, gara-gara “Pokemon GO”,
seseorang menjadi tidak peka dengan keberadaan mobil yang bisa membunuhnya
kapan saja. Dan di sebuah video yang menjadi viral di FB, seorang wanita
mencari pokemon hingga ke toilet pria.
Kita sebagai manusia, memang benar-benar konsumtif. Untuk memuaskan
hasrat kita, berapapun itu akan kita korbankan. Apalagi cuma install aplikasi “Pokemon
GO” yang gak nyampe 100 Mb. Tapi kita tak pernah benar-benar tahu atau sadar
bahwa kita cuma “komoditi” yang tengah dieksploitasi.
Memang agak sedikit naif kalau kita mengatakan bahwa mustahil
hidup tanpa mengeksploitasi pihak lain. Bahkan, dalam kehidupan beragama pun
ada. Bukankah dakwah agama adalah upaya untuk mengeksploitasi kehidupan manusia
yang cenderung duniawi?
Tapi, ada perbedaan di antara keduanya. Agama tahu bahwa “kehilangan”
itu menyakitkan, sebab hidup mengajarkan manusia untuk “memiliki”. Untuk
mengatasi ini, muncullah konsep “pengorbanan” yang tujuannya bukan untuk
memperkaya Tuhan, sebab untuk apa Tuhan dengan segala yang kita miliki?
Disanalah manusia belajar untuk tidak merasa memiliki. Disanalah
manusia belajar untuk kehilangan apa yang ia cintai.
Saat seorang manusia (beragama) merasa bahwa setiap
kepemilikannya hanyalah sebuah titipan, apa perlunya sebuah euforia dalam
hidupnya. Sebab, kehidupan ini adalah sebuah fase untuk mencapai titik
sempurna. Bukan sebuah permainan, yang pada akhirnya ditinggalkan.
Saran saya yang sedang dalam pengaruh “sensi” dan “suka
reaktif” ini. Secepatnyalah main “Pokemon GO” sampai puas. Game ini sudah mulai
dilirik pemerintah loh. Bisa jadi banyak orang yang sensi dan reaktif seperti
saya disana.
Tapi ingat. Pada akhirnya kita pun akan kembali kepada
takdir kita yang kekal. Ya, apalagi kalau bukan mencari jodoh. Dan jodoh itu lebih
rumit dari sebuah game online. Percaya deh..
No comments:
Post a Comment